Minggu, 11 April 2010

Terlambat bicara atau autisme

Pertanyaan ini aku lihat paling banyak ditanyakan oleh para Ibu yang mempunyai anak usia 1,5 tahun, 2 tahun, 2,5 tahun yang belum juga bicara. Kadang ada yang cerita belum banyak bicaranya, tetapi sudah mengerti jika diajak ngbrol. Ketakutan akan bergangguan autisme memang beralasan, karena publikasinya memang begitu mengatakan bahwa: hati-hati jika anak terlambat bicara, kemungkinan autisme.

Berapa banyak autisme? Banyak, begitu menurut publikasi. Berapa jelasnya? Engga tahu, karena angkanya samaunya. Ada yang bilang 1 : 500, ada yang 2: 250, eh ada juga yang bilang 1 : 150. Bayangkan dong kalau 1: 150, apa nanti gak bakal muncul partai kelompok autisme? Kok tinggi banget sih? Kalau tinggi begitu kenapa kok WHO engga membuat seruan serbu autisme, dan semua Negara membuat program pemberantasan ataupun pencegahan autisme. Ya engga, karena menurut banyak orang yang ngubek autisme, konon karena pertama yang salah:
1) tatalaksana sistem diagnosa autisme kurang ketat, seharusnya dilakukan secara multidisiplin, jangka waktu lama, berbulanan, hingga setahun, baru ditegakkan diagnosanya, tapi banyak hanya dengan satu kali kunjungan, tanpa konsultasi kiri kanan, bahkan ada yang cuma liwat mailing list segala, saat seorang Ibu bertanya mengapa anaknya belum bicara, langsung dapat diagnosa.
2) DSM IV atau ICD 10 yang menjadi dasar penegakan diagnosa jadi biang kerok.

Salah satu artikel yang secara terus terang mengkritik kriteria itu ditulis oleh Tine van Schijndel-Jehoel seorang orthopedagog peserta program doktor neuropsikologi klinik dari Universitas Tilburg – Belanda. Artikel itu adalah bagian dari pendidikan doktornya, yang ditampilkan di sebuah majalah autisme ilmiah Wetenschapplijk Tijdschrift Autisme, edisi Agustus 2005, dengan judul artikel: Brein bedriegt: als een autisme spectrum stoornis geen autisme is (Otak yang menipu: jika autisme spectrum disorder ternyata bukan autisme). Ia menjelaskan bahwa:
1) DSM IV adalah kelanjutan dari DSM III, dan ICD 10 adalah kelanjutan dari ICD 9;
2) dalam kriteria itu baik DSM IV maupun ICD 10, yang diambil dari DSM III & ICD 9, adalah prototip sistem klasifikasi bahwa: seorang anak dapat didiagnosa berdasarkan kumpulan gejala tertentu, tanpa harus memenuhi seluruh kriteria yang ada;
3) kumpulan gejala itu tak ada penjelasan latar belakang penyebab dan mengapa gejala itu bisa terjadi;
4) kriteria itu tidak pernah melalui upaya-upaya berbagai penelitian guna mendukung akurasi kriteria;
5) ketiga faktor yang menjadi dasar diagnosa (gangguan interaksi sosial, gangguan komunikasi, dan perilaku repetitif dan stereotipik) tidak diberi definisi secara jelas.


Akibat dari kriteria yang digunakan itulah yang pada akhirnya menjadi penyebab banyaknya anak-anak dengan bermacam-macam pola gejala mendapatkan diagnosa yang sama, yaitu autisme, yang dengan catatan sebetulnya sangat beragam (heterogen). Dengan alasan heterogenitas dan kesulitan menentukan letak setiap anak yang menerima diagnosa itu dalam sebuah spektrum yang panjang, akhirnya digunakanlah istilah Autism Spectrum Disorder (ASD). Menurut Shijndel-Jehoel lagi bahwa para ilmuwan saat melakukan penelitian seringkali juga menjadikan Autism Spectrum Disorder (ASD) sebagai satu objek grup penelitian yang dianggap homogen. Artinya semua ini menurutnya bahwa perkembangan kognitif neuropsikologi anak didiagnosa melalui kumpulan gejala tanpa memperhatikan lagi perbedaan etiologi (penyebab) dari setiap kelompok dalam spektrum tersebut. Dalam menangkap tanda-tanda gangguan autisme ini, gejala perilakulah yang menjadi sasaran, maka berbagai gejala perilaku akan terjebak masuk ke dalam term perilaku menyimpang, tanpa memperhatikan lagi apakah seorang anak mempunyai performa atau kinerja yang baik, mempunyai potensi, mempunyai prinsip yang kuat, dan dapat menunjukkan perilaku sosial yang adaptif, yang ke semuanya itu bisa saja nampak dalam situasi di rumah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar